WS Rendra : Air Zamzam Pun Rasanya Seperti Minuman Chevas Regal Ditulis Pada Saat Memperingati 7 Dasawarsa WS Rendra: 7 November 1935 Pengantar : Kamis malam, 8 November 1991, TIM (Taman Ismail Marzuki) kembali berguncang. Tetapi, itu bukan karena ulah Rendra yang biasa membaca puisi "panas" yang sarat dengan kritik sosial. Persoalannya justru timbal karena pihak berwajib (Polda Metro Jaya) tidak mengizinkan sang Penyair kondang ini rnembacakan dua buah puisinya yang berjudul Demi Orang-orang Rangkas Bitung dan Doa Seorang Pemuda Rangkas Bitung di Rotterdam. Apa sebabnya sehingga dua judul puisi itu tidak boleh dibacakan, memang belum jelas. Barangkali karena dua puisi tersebut dikhawatirkap akan membuat keresahan di masyarakat. Tetapi, masyarakat mana yang diresahkan oleh puisi Rendra tersebut? Wallahu a'lam. Malam itu, sedianya saya hendak membacakan delapan judul puisi. Namun, pihak yang berwajib hanya mengizinkan enam judul puisi. Karena larangan terhadap dua puisi tersebut, meskipun izin pertunjukkan diberikan, saya menolak berpentas. Waktu itu saya katakan, lebih baik tidak membacakan puisi sama sekali. Inilah sikap perlawanan saya.Melalui dua puisi itu, saya hanya ingin bertanya, apakah rakyat Indonesia sudah mendapatkan hak hukum. Ini 'kan pertanyaan wajar, toh? Tidak menyalahi hukum akal sehat. Juga tidak menyalahi undang-undang. Kalau rakyat tidak mempunyai hak hukum untuk menghadapi adipati-adipati yang baru, apa itu namanya bangsa merdeka? Kalau bangsa Anda tidak mempunvai hak hukum, apakah dapat disebut sebagai bangsa yang merdeka? Dengan pelarangan ini, sekarang yang terlintas di pikiran saya adalah betulkah kenyataan yang mengatakan bahwa negara kita memang sudah merdeka, tetapi bangsa Indonesia belum merdeka?Nurani kita belum merdeka atau dimerdekakan.
Hijrah Keyakinan
Saya memang telah memilih jalan hidup saya sebagai seniman. Sejak muda, saya telah malangmelintang di dunia teater. Bahkan, kemudian sava dikenal-sebagai "dedengkot" Bengkel Teater sewaktu masih tinggal di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater inilah saya telah mendapatkan segalanya: popularitas, istri, dan juga materi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dalam kemiskinan sebagai seniman pada waktu itu, saya dapat memboyong seorang putri Keraton Prabuningratan,BRA Sitoresmi Prabuningrat, yang kemudian menjadi istri saya yang kedua. Tetapi justru, melalui perkawinan dengan putri keraton inilah, akhirnya saya menyatakan diri sebagai seorang muslim. Sebelumnya saya beragama Katolik. Meskipun dalam rentang waktu yang cukup panjang-setelah memperoleh 4 orang anak--perkawinan saya kandas. Tetapi, keyakinan saya sebagai seorang muslim tetap terjaga.Bahkan, setelah perkawinan dengan istri yang ketiga, Ken Zuraida, saya semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bukan suatu kebetulan, jika saya kemudian bergabung bersama Setiawan Djodi dan Iwan Falls dalam grup Swami dan Kantata Takwa.Bagi saya, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman. Tetapi lebih dari itu,puisi merupakan sikap perlawanan saya kepada setiap bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Dan,itulah manifestasi dari amar ma'ruf nahi munkar seperti yang selalu diperintahkan Allah di dalam Al-Qur'an. Sebagai penyair, saya berusaha konsisten dengan sikap saya. Bagi saga, menjadi penyair pada hakikatnya menjadi cermin hati nurani dan kemanusiaan. Penyair itu bukan buku yang dapat dibakar atau dilarang, bukan juga benteng yang bisa dihancur leburkan. Ia adalah hati nurani yang tidak dapat disamaratakan dengan tanah. Mereka memang dapat dikalahkan, tetapi tidak dapat disamaratakan dengan tanah begitu saja.
Pergi Haji
Meskipun sudah menjadi orang Islam, tetapi saya masih suka meminum minuman keras. Seenaknya saja saya katakan bahwa tidak ada masalah dengan hal itu. Waktu itu, saga selalu katakan, kalau saya membaca bismillahirrahmanirrahim, maka minuman keras menjadi air.Ketika naik haji, apa saja yang saya tenggak terasa seperti minuman keras merek Chevas Regal. Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman keras. Bahkan, air zamzam pun rasanya seperti Chevas Regal, sampai saya bersendawa, seperti orang yang selesai meminum minuman keras.Lirih, saya memohon. "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah." Saya betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga saya ingin berteriak, "Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!" Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi.
Sumber: "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press
No comments:
Post a Comment