Tuesday, April 9, 2013

SANG BUNGA SURGA
Kisah Ketegaran Sang Bunga Surga Masyithah. Mesir ribuan abad silam menjadi saksi sejarah kehidupan seorang wanita yang hatinya dipenuhi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Saat itu, Negeri Piramida dikuasai Firaun yang bengis. Ia memaksa seluruh rakyat Mesir menyembahnya.
Allah SWT lalu mengutus Nabi Musa untuk menyelamatkan Bani Israil dari kekejaman sang raja. Namun Firaun teramat sangat kejam hingga mereka yang beriman begitu takut untuk memperlihatkan keimanan mereka kepada Allah Ta’ala. Salah satu yang menyembunyikan keimanan tersebut yakni seorang wanita bernama Masyithah beserta keluarganya.
Masyithah merupakan salah satu pelayan istana Firaun. Ia bertugas sebagai sebagai tukang sisir putri Firaun. Sejak bertahun-tahun silam, keluarga Masyithah telah setia melayani istana. Ketika agama Ibrahim disampaikan Musa di tanah Mesir, mereka mengimaninya. Namun tak ada yang tahu keimanan Masyithah, termasuk sang majikan.
Pesan Sponsor

Hingga suatu hari, tibalah saat Allah menguji keimanan Masyithah dan keluarganya. Saat itu Masyithah tengah menyisir rambut putri Firaun. Tiba-tiba sisir ditangannya jatuh, dan tanpa sadar asma Allah keluar dari lisan Masyithah.
“Allah!” seru Masyithah spontan. Mendengarnya, putri Firaun sontak kaget. Ia pun segera menginterogasi Mayithah, “Siapakah Allah itu?” Jika Allah itu Tuhan, maka berarti Masyithah siap dihukum mati karena telah menentang Firaun.
Masyithah tak juga menjawab pertanyaan sang putri. Keringat dingin menderas tubuhnya, ketakutan menderu hatinya. “Siapa Allah itu? Mengapa kau tak menjawab! Apakah kau punya Tuhan selain ayahku?!” seru sang putri.
Masyithah terus bungkam, namun sang putri terus mendesaknya. Hingga keberanian pun datang dari diri Masyithah. Ia tahu betul, inilah saatnya keimanan hendak diuji Allah. “Allah adalah Tuhanku, Tuhan ayahmu, dan Tuhan seluruh alam,” jawab Mayithah tegas.
Mendengarnya, sang putri pun segera beranjak dari tempat duduknya menuju kediaman sang ayah. Ia segera melaporkan apa yang baru saja didengarnya dari lisan Masyithah kepada sang penguasa Mesir yang kejam.
Sementara Masyithah mengabarkan kepada keluarganya untuk bersiap diri mendapat hukuman Firaun. Bersiap diri untuk tegar diatas keimanan kepada Allah.
Firaun marah bukan kepalang ketika mendengar kabar dari sang putri. Ia pun segera memanggil Masyithah ke hadapannya. Tanpa keraguan, Masyithah pun pergi memenuhi panggilan raja.
“Apa kau menyembah sesuatu selain aku?” tanya Firaun dengan suara menggelegar. Seluruh istana dibuat takut dengan amarahnya.
Masyithah pun menjawab, “Ya, saya menyembah Allah. Allah Tuhanku, Tuhanmu dan Tuhan segala sesuatu,” kata Masyithah.
Firaun pun menyuruh pengawalnya untuk mengikat Masyithah kemudian menaruh seekor ular besar di hadapannya. Namun Masyithah tak merasa takut sedikitpun .
Bertambah terbakarlah emosi Firaun. Ia pun segera memanggil tangan kanannya, Hamman untuk mengeksekusi mati keluarga Masyithah.
Hamman kemudian segera mengumpulkan beberapa pengawal untuk menangkap Masyithah dan keluarganya. Ia pun kemudian memerintahkan pengawal lain untuk membuat lubang besar untuk diisi air panas layaknya kawah bara dari gunung api. Ia bermaksud merebus hingga mati Masyithah dan keluarganya.
Tibalah hari eksekusi. Rakyat dikumpulkan untuk menyaksikan hukuman ala Firaun. Masyithah, bersama sang suami dan empat orang anak termasuk satu bayi yang digendongnya siap menghadapi hukuman keji tersebut.
Mereka melihat kubangan besar berisi air mendidih yang siap melepuhkan tubuh mereka. Namun hati mereka tak gentar dengan siksaan dari seorang manusia. Mereka memilih beriman kepada Allah, Tuhan seluruh manusia.
Sebelum dilempar ke air mendidih, mereka ditanya oleh Hamman apakah masih akan terus mengimani Allah dan enggan menuhankan Firaun? Mereka menjawab, “Allah adalah Tuhanku, Tuhan Firaun dan Tuhan seluruh alam. Kami akan terus beriman kepada Allah sekalipun harus terjun ke kawah mendidih.”
Maka bulatlah keputusan Hamman untuk memasak mereka hidup-hidup dalam kubangan air yang mendidih. Suami Masyitah pertama kali yang mendapat giliran. Tubuhnya langsung dilalap air yang mendidih, tinggal seonggok daging gosong tak bernyawa.
Melihat eksekusi keji tersebut, Hamman terbahak-bahak dan terus menghina orang-orang yang beriman kepada Allah.
Masyithah terus di atas ketegarannya mengimani Allah. Setelah sang suami, giliran anak-anaknya. Satu per satu, mereka dipaksa masuk ke air mendidih yang apinya menjilat-jilat. Semuanya dilakukan dihadapan Masyithah.
Hingga tinggallah tersisa Masyithah dan seorang anaknya yang masih bayi. Ia menggendong bayi itu erat-erat. Hatinya masih di atas ketegaran agama Allah. Maka diseretlah ia dan bayinya mendekati air yang teramat sangat panas itu.
Ketika hampir memasuki kubangan air, tiba-tiba setan membisikkan keraguan di dalam hatinya. Keraguan dengan merasa sedih dan kasihan pada sang bayi yang belum sempat tumbuh dewasa melihat dunia, bayi yang baru lahir tanpa dosa.
Masyithah pun menghentikan langkahnya menuju ajal. Ia terus saja memandangi bayinya yang merah dengan perasaan sedih yang mendalam. Melihatnya, Hamman sempat berpikir Masyithah akan mencabut kata-katanya dan akan kembali menuhankan Firaun. Ia pun girang karena merasa ancamannya pada Masyithah berhasil.
Namun pikiran Hamman salah. Masyithah tak pernah sedikitpun melepaskan keimanannya pada Allah.
Lalu dengan kehendak Allah, sang bayi tiba-tiba berkata kepada ibunya, “Wahai ibu, jangan takut, sesungguhnya Surga menanti kita,” ujar bayi yang digendongnya.
Mendengarnya, kembalilah ketegaran dan keberanian Masyithah. Ia pun mencium anaknya. Kemudian masuklah keduanya ke dalam air yang mendidih. Masyithah dan keluarganya mengakhiri hidup mereka dengan berpegang teguh pada akidah.

No comments: