CINTA TAK BERSUARA
Ada saudagar kaya yang sudah tua usianya. Hartanya sangat banyak. Sementara ia sudah tidak
memiliki istri lagi. Ia kini hidup dengan seorang putranya.
Anak lelaki satu-satunya ini memiliki sifat yang berbeda dengan sang ayah. Ayahnya adalah
orang yang sangat gigih dalam bekerja. Sedangkan anaknya, hanya bersenang-senang saja. Memang,
saking banyaknya harta itu, tidak akan habis dimakan sampai tujuh turunan.
Saudagar kaya ini memiliki perpustakaan besar. Bahkan, terbesar di jamannya. Sewaktu muda, ia
giat bekerja sehingga menjadi kaya raya seperti sekarang ini. Kini, ia ingin menikmati masa tuanya
dengan tenang. Menikmati jerih payahnya sewaktu muda.
Ada satu sifat yang tidak disukai si anak dari diri ayahnya. Yaitu, ayahnya dinilai seorang yang
pelit. Sang ayah sangat selektif dengan permintaan anaknya. sang anak merasa jengkel dengan sifat
ayahnya ini.
Karena tidak setiap yang ia inginkan, bisa dipenuhi oleh ayahnya. padahal, apa yang ia inginkan,
pasti bisa terjangkau dengan banyaknya harta yang dimiliki ayahnya.
Suatu hari, sang anak datang menghadap ayahnya. Ia berniat meminta sesuatu terhadap ayahnya.
Sudah jauh-jauh ia menyusun rencana ini. Berharap ayahnya mau mengabulkan keinginannya.
“Anakku, kau nampak murung. Apa yang kau pikirkan?” tanya sang ayah.
“Ayah, aku sangat beruntung memiliki seorang ayah sepertimu. Nasibku tidak seperti orang kebanyakan
yang serba kekurangan. pokoknya aku bangga menjadi anakmu.” ujar sang anak.
“Syukurlah!”
“Begini ayah, kemarin ketika aku jalan-jalan dengan mengendarai sepeda motor, aku terus diperhatikan
oleh orang-orang yang kujumpai. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentang aku. Mungkin mereka
merasa aneh, anak saudagar kaya hanya mengendarai sepeda motor!” si anak mulai menyentil.
“Maksudmu?”
“Beberapa hari yang lalu, aku melihat iring-iringan mobil ke arah kota. Aku berpikir, alangkah
nyamannya naik mobil. Tidak kepanasan, seperti naik sepeda motor. Maka akupun berkeinginan untuk
memiliki sebuah mobil. Apakah Ayah mau memenuhi keinginanku?”
Sang ayah menarik nafas panjang “Anakkku, Ayah kira dengan sepeda motor sudah cukup untukmu. Kau
hanya berkeliling di sekitar sini saja kan?”“Tetapi, aku sungguh ingin merasakan bagaimana rasanya naik mobil, Ayah!”
“Ayah akan pikirkan dulu. Besok akan Ayah berikan jawabannya.”
Keesokan harinya, sang anak tengah duduk di ruang keluarga. Menunggu jawaban ayahnya. Dalam hati ia
berdoa, agar ayahnya mau mengabulkan permintaaanya tersebut.
Tidak lama kemudian, sang ayah muncul dengan membawa sesuatu.
“Ayah, Bagaimana? Apakah Ayah setuju dengan keinginanku?”
“Anakku, Ayah ini sudah tua. Sebentar lagi mungkin Ayah akan mati. Dan tentu saja seluruh harta Ayah
akan diwariskan kepadamu, karena hanya engkaulah ahli waris ayah satu-satunya.”
“Ayah setuju tidak dengan keinginanku?” sang anak sudah tidak sabar lagi.
“Anakku, tidak semua yang kita inginkan bisa kita raih, meskipun kita hidup berkecukupan. Tapi, kau
sangat beruntung, karena engkau terlahir dari keluarga yang kaya raya. Yang kaubutuhkan, sudah Ayah
siapkan. Ini!” sang ayah menyerahkan sesuatu kepada anaknya.
“Apa ini? Buku?”
“Ya”
“Jadi, Ayah tidak mengabulkan permintaanku?”
“Tunggu dulu, maksud Ayah….”
“Ayah memang pelit! Lebih baik aku pergi dari rumah ini!” sang anak beranjak meninggalkan tempat
duduknya dan berlari meninggalkan rumah.
Sang ayah tidak dapat mencegah anaknya, bahkan tidak sempat memberikan pengertian dan persoalan
yang sebenarnya. Kini ia tinggal sendiri. Sang anak pergi dengan meninggalkan kekecewaan. Sang ayah
lebih kecewa, karena sang pewaris satu-satunya telah pergi.
Beberapa tahun kemudian, anak saudagar kaya ini ingin kembali ke rumah. Ia menyesal telah
meninggalkan ayahnya yang sudah tua. Ia juga merasa sengsara, hidup dengan usaha sendiri. Makan
seadanya, pakaian yang tidak sebagus dulu, dan beragam kesusahan lainnya.
Penyesalannya semakin membuncah, taktala ia mendengar ayahnya telah meninggal. Ia merasa
berdosa dan menganggap diri sebagai manusia yang tak berguna.
Untuk menebus dosa-dosanya, ia berjanji dalam hatinya akan meneruskan apa yang telah
diusahakan ayahnya selama ini. Menjaga dan mengelola harta yang ada. Juga akan mengubah tabiatburuknya. Tibalah anak itu di depan rumahnya. Sungguh ironis, rumah yang dahulu megah, kini nampak
kumuh tak terawat. Karena setelah sang ayah meninggal, para pembantu di rumah itupun pergi.
Sebelum ia masuk ke rumah, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi makam ayahnya yang
berada tak jauh dari samping rumahnya. Ia tahu itu makam ayahnya, karena disana tertancap sebuah batu
nisan atas nama ayahnya. Di depan makam ayahnya, ia menangis dan menyesali semua perbuatannya.
Setelah puas menyiram makam ayahnya dengan air mata. Anak ini kemudian masuk ke dalam
rumah, terbayang lagi kenangan dahulu, ketika ia bercanda ria dengan ayah dan ibunya hingga kenangan
pertengkarannya dengan sang ayah terakhir kali, sebelum ia meninggalkan rumah.
Matanya kemudian menangkap sebuah buku. Buku yang hendak diberikan ayahnya, sebagai
pengganti mobil yang ia minta. Dengan tangan gemetar, diambilnya buku itu. Buku itu telah tertutup
penuh dengan debu.
Perlahan-lahan, dibukanya lembaran demi lembaran dari buku itu. Ternyata, buku itu adalah
kumpulan nasehat yang ditulis oleh ayahnya sendiri selama ia hidup untuk anaknya. Ketika ia membukabuka
halaman dari buku itu, tiba-tiba sesuatu terjatuh. Sebuah kunci mobil, lengkap dengan suratsuratnya.
Di sana juga terselip tulisan: “Ayah menyayangimu!”
Kembali sang anak ini menangis. Kembali penyesalan menyergap dirinya.
“Ayah, maafkan anakmu” lirihnya dalam hati.
*****
(disadur dari buku “Beginilah Seharusnya Hidup”)
No comments:
Post a Comment