“Martabat Tujuh”
Naskah “Martabat Tujuh” ini adalah naskah yang berisi tentang ajaran adanya Tuhan yang digambarkan dalam tujuh sifat atau tujuh martabat, yaitu martabat Ahadiyah, martabat Wahdah, martabat Wahidiyah, martabat alam arwah, martabat alam misal, martabat alam ajsam, dan martabat alam insan. Tiga martabat yang pertama, Ahadiyah, Wahdah, dan Wahidiyah disebut juga alam ilahiyah, sedangkan martabat alam arwah, martabat alam misal, martabat alam ajsam, dan martabat alam insan disebut muhdas, yang serba ada atau baharu.
Martabat tujuh dalam naskah ini dapat diartikan sebagai hakikat keberadaan Allah yang terkandung dalam semua kekuasaan dengan sifat-sifatnya. Ketujuh martabat ini bisa dijelaskan sebagai berikut.
Martabat Ahadiyah adalah martabat yang pertama, yaitu wujud sunyi dari segala sifat dan bentuk kaitannya, atau la ta‟yin (tidak nyata). Dalam naskah ini dijelaskan bahwa martabat Ahadiyah adalah martabat Allah yang berupa zat kodim ajali, masih bersifat belum nyata, semuanya dalam keadaan gaib atau tidak nampak. Martabat ini menjelaskan keberadaan Allah merupakan hakikat dari Muhammad.
Martabat yang kedua adalah martabat Wahdah, yaitu ta‟yin awal, hakikat Muhammad yang merupakan pengetahuan Tuhan secara umum, global, atau ijmal. Dalam naskah ini dijelaskan bahwa martabat Wahdah merupakan penjelasan bahwa Allah telah memiliki wujud yang berupa zat dada Muhammad, Allah ada dalam ilmu-Nya, yang diibaratkan dengan dinding kayu. Martabat yang ketiga
adalah martabat Wahidiyah, yaitu ta‟yin sani yang merupakan pengetahuan Tuhan yang terperinci atau tafsil tentang zat dan sifat serta segenap yang ada lainnya. Dalam naskah ini dijelaskan bahwa martabat Wahidiyah merupakan kehendak Allah yang berupa zat dan sifat yang terkandung dalam asma-Nya.
Martabat keempat adalah martabat alam arwah, yaitu alam yang sederhana tidak bersusun dari unsur-unsur dan tidak bersifat materi. Martabat ini merupakan martabat yang menyatakan kekuasaan Allah, kun payakun, untuk menciptakan semua makhluk (manusia) yang diberi pancaindra dohir dan batin berupa pikiran, karya, dan bicara. Alam arwah merupakan alam di mana nyawa belum menerima nasib, nyawa masih merupakan cahaya suci.
Martabat kelima adalah martabat alam misal, yaitu alam yang sudah tersusun dari unsur-unsur yang halus, tetapi tidak akan mengalami cerai-berai, usang, atau rusak. Martabat ini merupakan kehendak Allah untuk mengadakan rupa yang nyata dalam wujud ilmu-Nya yang tersusun namun tidak beraturan dan tidak akan rusak, inilah yang dimaksud dengan cahaya gaib. Alam misal adalah alam segala rupa yang telah diisi dengan nyawa dan mulai menerima nasib.
Martabat keenam adalah martabat Alam Ajsam, yaitu alam yang tersusun dari unsur-unsur yang kasar dan dapat mengalami perceraiberaian. Martabat ini merupakan kehendak Allah yang diibaratkan susunan yang beraturan seperti bumi dan langit, ketika nyawa selah bertemu dengan pancaindra zahir. Alam Ajsam adalah alam segala tubuh, rupa tubuh sekalian insan, dan rupa kalbu serta rohnya.
Dan martabat ketujuh adalah martabat alam insan, yaitu martabat yang menghimpun semua martabat sebelumnya. Dalam naskah ini, martabat ini disebut juga martabat alam insan kamil, yaitu martabat yang menyatakan kehendak dan kekuasaan Allah yang sangat nyata berupa insan (manusia) suci yang diberi nama Muhammad, atau manusia sempurna tempat berkumpulnya keenam martabat sebelumnya yang disatukan dengan pancaindra dohir dan batin. Alam insan adalah alam segala manusia, yakni adanya manusia anak keturunan Adam.
Berdasarkan naskah ini, kata Allah terdiri dari empat huruf dengan martabat-martabat-Nya. Keempat huruf itu adalah sebagai berikut.
Pertama, huruf alif merupakan hakikat Allah dalam martabat alam arwah.
Kedua, huruf lam yang merupakan hakikat dari martabat Wahidiyah.
Ketiga, huruf lam alif merupakan hakikat dari martabat Wahdah. Dan
keempat, huruf ha yang merupakan hakikat dari martabat Ahadiyah, yaitu kehendak dan kekuasaan Allah yang mencakup tujuh langit dan tujuh bumi yang merupakan zat Allah semua.
Sementara itu, kata Muhammad juga berasal dari empat huruf yang masing-masing mengandung makna sebagai berikut.
Pertama, huruf mim (yang pertama) dalam mu- mengandung makna sukma, yaitu ingat akan zat kesempurnaan hidup yang disebut zat.
Kedua, huruf ha dalam –ham- mengandung makna ingat akan aku yang merupakan kumpulan hidup yang disebut sifat.
Ketiga, huruf mim (yang kedua) dalam mmad- mengandung makna ingat akan nama jati diri hidup yang disebut asma. Dan
keempat, huruf dal dalam –mmad mengandung arti ingat akan nyawa untuk hidup yang disebut ap‟al.
Dalam ilmu tasawuf makhluk yang pertama sekali diciptakan Allah SWT adalah nur Muhammad yang disebut juga hakikat Muhammad atau roh Muhammad, setelah itu barulah diciptakan alam yang lainnya. Konsep nur Muhammad ini ada sehubungan dengan pencapaian manusia pada derajat insan kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang sudah mencapai tingkat tertinggi dari sifat kemanusiaannya atau manusia yang sudah memiliki nur Muhammad. Insan kamil merupakan wahdatul wujud (kesatuan wujud) antara manusia sebagai alkhaliq dengan hakikat Yang Esa atau al-Haqq.
Untuk memperoleh nur Muhammad sebagai pencapaian derajat insan kamil yang merupakan penampakan diri Tuhan ada tiga tingkatan, yaitu Ahadiyah (satuan Tuhan), Hawiyah (kediaan Tuhan), dan Aniyah (keakuan Tuhan). Pada tahap Ahadiyah, Tuhan dengan kemutlakan-Nya baru keluar dari al-ama atau kanzan makhfiyyah (kabut gelap tanpa nama dan sifat). Pada tahap Hawiyah nama dan sifat Tuhan telah mulai menampakkan diri. Pada tahap Aniyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada semua makhluk-Nya, namun Tuhan menampakkan diri terbatas pada insan kamil.
Berdasarkan nama dan sifat-Nya Allah memiliki empat sifat, yaitu sifat nafsiyah, sifat salbiyah, sifat ma‟ani, dan sifat ma‟nawiyah. Sifat nafsiyah adalah sifat yang tetap ada pada Allah (kekal) atau sifat yang berhubungan dengan zat Allah, yaitu wujud (ada). Sifat salbiyah adalah sifat yang tidak sesuai atau tidak layak terhadap perkara yang tidak pantas pada Allah, yaitu qidam, baqa, mukhalapah li alhawadisi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyat. Sifat ma‟ani adalah sifat yang menetapkan hukum atau sifat yang wajib bagi Allah yang dapat digambarkan oleh pikiran manusia untuk meyakinkan bahwa kebenarannya dapat dibuktikan dengan pancaindra, yaitu sama‟ basar, kalam, qudrat, iradat, ilmu, dan hayat. Sifat ma‟nawiyah adalah sifat yang tetap pada Allah atau sifat yang berhubungan dengan sifat ma‟ani, yaitu sami‟an, basiran, mutakaliman, qadiran, muridan, aliman, dan hayan. Jadi, inilah yang dinamakan dengan Allah sebagai al-Haqq yang patut disembah, yang terkandung dalam makna La ilaha illa Allah (tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah).
Jika dikaitkan dengan tujuh martabat pada Allah, nama dan sifat Allah dapat dipaparkan sebagai berikut. Martabat Ahadiyah merupakan hakikat Allah yang bersifat hidup, Yang Maha Hidup tergambar dalam badan kita. Martabat Wahdah merupakan hakikat Allah yang bersifat ilmu dan aliman, Yang Maha Mengetahui yang tergambar dalam hati kita. Martabat Wahidiyah merupakan hakikat Allah yang bersifat iradat dan muridan, Yang Maha Kersa yang tergambar pada nafsu dan kehendak kita. Martabat alam arwah merupakan hakikat Allah yang bersifat qudrat dan qaridan, Yang Maha Kuasa yang tergambar dalam gerak anggota badan kita. Martabat alam misal merupakan hakikat Allah yang bersifat sama dan sami‟an, Yang Maha Mendengar yang tergambar dalam telinga kita. Martabat alam ajsam merupakan hakikat Allah yang bersifat basor dan basiran, Yang Maha Melihat yang tertanam dalam mata kita. Dan martabat alam insan kamil merupakan hakikat Allah yang bersifat
kalam dan mutakaliman, Yang Maha Berkata melalui firman-Nya yang tergambar dalam lidah kita. Ketujuh martabat ini terdapat dalam sifat ma‟ani dan sifat ma‟nawiyah.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa naskah ini selain berisi ajaran martabat tujuh, penulis menambahkan doa-doa yang sering dibaca oleh Rasulullah dan para wali, di antaranya doa yang dibaca oleh Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Kalijaga. Selain itu, ditulis juga beberapa mantra atau primbon dalam bahasa Jawa, di antaranya, mantra untuk anjala, mantra untuk menaklukkan hati perempuan, mantra ketika mendapatkan kesusahan atau masalah, dan sebagainya. Doa-doa dan mantra-mantra ini, dijelaskan juga cara dan waktu pembacaannya, begitu juga khasiat-khasiatnya.
Sepertinya naskah ini memiliki nilai fungsi sosial pada masyarakat pemiliknya sebagai naskah yang dipakai dalam mempelajari ajaran ilmu tasawuf, atau kemungkinan sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran ilmu mistik, dan emanasi Tuhan dalam martabat tujuh. Naskah ini menarik untuk dipelajari jika kita ingin mencapai kesempurnaan hidup sebagai makhluk insan kamil, manusia yang sempurna, seperti yang dipelajari oleh para sufi.
Dalam Ensiklopedia Islam, dijelaskan bahwa manusia (sufi) akan dapat mencapai derajat insan kamil dengan melakukan taraqqi (usaha kecil) melalui tiga tahap, yaitu
(1) bidayah (sufi disinari oleh nama-nama Tuhan),
(2) tawassut (sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan), dan
(3) khitam (sufi disinari zat Tuhan sehingga Tuhan bertajali dengannya). Pada tahap terakhir inilah sufi memperoleh nur Muhammad menjadi insan kamil.
Naskah ini ditulis atau disalin, yaitu dari keluarga raja Sultan Komarudin Hariri yang merupakan Sultan Cirebon pada tahun 1249.
Salah satu naskah koleksi filologika yang terdapat di Balai Pengelolaan Permuseuman Negeri Propinsi Jawa Barat “Sri Baduga” dengan nomor inventarisasi naskah 07.07 yang dalam daftar koleksi Filologika Balai Permuseuman Negeri Propinsi Jawa Barat “Sri Baduga” berjudul Pelajaran Fiqih, yang merupakan naskah tunggal (codex unicus). Setelah dibaca dan ditelaah isinya naskah ini berisi tentang Martabat Tujuh, Doa-Doa, dan Primbon, berdasarkan isi tersebut selanjutnya naskah ini diberi judul Martabat Tujuh, karena sebagian besar isi naskah adalah mengenai ajaran martabat tujuh atau emanasi Tuhan dalam martabat tujuh, yaitu salah satu ajaran tasawuf yang menjelaskan hakikat keberadaan Tuhan. Naskah ini berasal dari Majalengka dan pemiliknya tidak diketahui, tidak ada keterangan lain yang menjelaskan asal-usul naskah sebelum naskah ini disimpan di Balai Pengelolaan Permuseuman Jawa Barat “Sri Baduga”.
No comments:
Post a Comment