Wednesday, August 30, 2017

KENAPA HARUS MUTIH?

Hasil Copasan dari Group WhatsApp....
-[KENAPA HARUS MUTIH?]-
BAF edisi-56,
Oleh: Ust. H. Abd. Rosyid, S.Pd.I.
Ritual mutih dilakukan agar ketika
berbuka puasa, mereka tidak
bersenang-senang dan ‘mengumbar’
hawa nafsunya dengan makanan
ataupun minuman yang lezat.
Sehingga, kemungkinan kekenyangan
yang dapat mengakibatkan nafsu
kembali menjadi kuat setelah
seharian nafsu dikekang dengan
berpuasa, bisa diminimalisir.
Ritual mutih telah dilakukan sejak
dulu oleh para tokoh sufi dari
berbagai macam aliran tarekat.
Menurut sebagian Sufi --seperti
yang dikutip oleh Syaikh Abdul
Wahhab Asy Syaraniy dalam kitab
beliau Al Anwarul Qudsiyyah--, rukun
atau tiang penyangga pelaku tarekat
itu ada empat, yaitu: menahan rasa
lapar, tidak banyak bergaul jika
tidak ada manfaatnya (al ‘uzlah ),
bangun malam, dan tidak berbicara
jika tidak bermanfaat. Kunci pokok
dari ke-empat hal ini adalah rasa
lapar. Artinya jika seorang murid
sudah terbiasa lapar, maka tiga hal
sisanya niscaya akan mengikutinya
secara otomatis. Sebab, secara
tabiat, seorang yang lapar akan
cenderung mengirit energinya
dengan sedikit bicara, badannya
menjadi mudah atau ringan untuk
bangun malam, serta mempunyai
kecenderungan untuk menghindari
pergaulan yang tidak bermanfaat.
Manfaat dari terbiasa menahan
lapar adalah seorang murid tidak
akan mudah tergoda oleh hawa
nafsunya sendiri juga tidak mudah
digoda oleh setan. Sehingga, hatinya
akan menjadi bersih. Rasulullah SAW
pernah bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya setan mengalir pada
diri anak cucu Adam mengikuti aliran
darah. Maka, sempitkanlah semua
jalan setan dengan (cara)
lapar.” [HR. Ibnu Abi Dunya].
Syaikh Abdul Wahab Asy Sya’roni RA
dalam karya beliau Mizan al Kubro
menyebutkan beberapa syarat yang
hendaknya dilakukan oleh penempuh
jalan tarekat [baca; salik]. Satu di
antara dari beberapa syarat
tersebut adalah tidak mengkonsumsi
makanan yang mempunyai ruh/
nyawa yang dalam tarekat kita
dikenal dengan istilah mutih ini.
Dengan melakukan ritual mutih ini,
seorang murid akan mudah dalam
mengontrol serta mengekang hawa
nafsunya. Sebab, awal timbulnya
semua maksiat adalah nafsu dan
kekuatan (diri). Sedangkan esensi
atau sumber energi dari nafsu serta
kekuatan itu sendiri adalah makanan.
Maka, dengan menyedikitkan makan,
otomatis akan bisa melemahkan nafsu
dan syahwat.
Sebenarnya, dalam kitab tersebut
Asy Sya’roni RA tidak menyebutkan
bahwa aktivitas mutih hanya
tertentu dan khusus dilakukan pada
bulan Ramadlan saja. Artinya,
seorang murid tarekat idealnya
dituntut untuk melakukan aktivitas
mutih ini sepanjang tahun dan
bahkan sepanjang hayatnya. Hanya
saja, karena faktor kewelasan serta
kemurah hati-an dari guru kita
Syaikh Achmad Asrori al Ishaqy RA
dan karena beberapa faktor lain
yang hanya diketahui oleh Beliau,
mutih bagi murid tarekat Qadiriyah
wan Naqsyabandiyyah Al
Utsmaniyyah ini --seperti yang
pernah Beliau dawuhkan-- hanya
perlu dilakukan pada tiap bulan
Ramadlan saja. Itupun masih
dikurangi dengan ‘libur’ mutih setiap
malam Jum’at.
Wal hasil, secara global, ritual mutih
ini bisa dibilang adalah nilai plus dari
puasanya seorang murid tarekat.
Artinya, dengan dilakukannya ritual
mutih ini, akan ada perbedaan yang
distingtif antara puasanya seorang
murid tarekat dengan puasanya
seorang yang bukan murid tarekat.
Kalau yang non tarekat syahwat
makannya dikekang pada siang hari
bulan Ramadlan dan lalu ‘dilepas’ lagi
pada malam harinya, seorang murid
tarekat tidak begitu. Akan tetapi
syahwat makan seorang murid
tarekat tetap dikontrol serta
dibatasi, meskipun pada malam hari.
Mumpung momennya pun juga pas:
Ramadlan!. Jadi, sekali dalam
setahun, apa susahnya mutih cuma
sebulan jika dibandingkan dengan
tidak mutih nya yang sudah dijalani
selama 11 bulan?. Wa Allahu a’lam

No comments: